Ekonomi

Dari Akar ke Aksi: Peran SDGs dalam Menghapus Kemiskinan Struktural

kemiskinan struktural

Pernahkah Sahabat bertanya, kenapa kemiskinan tetap ada meskipun bantuan sosial terus disalurkan? Faktanya kemiskinan tidak selalu disebabkan karena malas bekerja ataupun rendahnya penghasilan. Ada bentuk kemiskinan yang tidak kasat mata, tapi justru menyimpan isu yang kompleks yaitu, kemiskinan struktural.

Kemiskinan ini terjadi karena sistem atau struktur sosial yang tidak adil. Biasanya terjadi karena akses yang tidak merata terhadap pendidikan, pekerjaan dan layanan dasar. Misalnya, warga yang tinggal di pedalaman sulit mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak karena minimnya infrastruktur.

Masyarakat di daerah terpencil atau miskin seringkali terjebak dalam siklus kemiskinan yang panjang. Bukan karena mereka tidak mau berusaha, tetapi karena tidak diberi kesempatan yang setara. Tanpa perubahan struktur yang mendasar, mereka akan terus tertinggal.

SDGs dan Komitmen Global Menghapus Kemiskinan

Sustainable Development Goals (SDGs) adalah 17 tujuan global yang ditetapkan oleh PBB hingga tahun 2030. Inisiatif ini menjadi pedoman bersama negara-negara anggota PBB dalam mewujudkan perdamaian dan kemakmuran yang berkelanjutan, baik bagi manusia maupun bumi.

Tujuan nomor satu adalah menghapus kemiskinan yang terjadi di berbagai wilayah, termasuk Indonesia yang ikut menandatangani komitmen ini dan menerapkannya hingga ke level desa.

SDGs tidak hanya memberi bantuan langsung, tapi juga menyentuh akar masalah. Misalnya, dengan mendorong pemerataan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan penciptaan lapangan kerja. Program SDGs Desa juga menjadi upaya lokal untuk menjawab tantangan pembangunan yang paling dasar.

Akar Masalah Kemiskinan Struktural di Indonesia

1. Pola Pikir & Pola Kehidupan Keliru

(Gambar: jdih.sukoharjokab.go.id)

Ternyata tanpa disadari, masyarakat yang mengalami kemiskinan terutama di Indonesia terjebak dalam pola pikir dan pola kehidupan yang keliru. Pola pikir yang salah dan berkembang secara turun temurun ini mengakibatkan mereka sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. 

Di beberapa daerah, ada anggapan bahwa kemiskinan adalah takdir yang tidak bisa diubah. Pola pikir ini membuat masyarakat menjadi pasrah terhadap keadaan, enggan mencoba peluang baru, atau merasa tidak layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Sebagian lagi beranggapan bahwa pendidikan tinggi tidak penting karena mereka hanya akan tetap tinggal di desa. Akibatnya anak-anak dibiarkan putus sekolah dan langsung bekerja sejak usia dini. Hal ini menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit diputus—di mana satu generasi mewariskan cara berpikir yang sama ke generasi berikutnya.

Sebuah riset dari LIPI tahun 2015–2017 meneliti karakteristik warga miskin di empat kota dan kabupaten di Pulau Jawa. Salah satu temuan menariknya adalah tentang persepsi masyarakat miskin terhadap kondisi kemiskinan yang mereka alami.

Ketika hasil riset dicocokkan dengan data BPS, muncul korelasi yang cukup kuat dan mengejutkan. Wilayah dengan masyarakat yang menganggap kemiskinan sebagai takdir dan bersikap pasrah, cenderung memiliki angka kemiskinan lebih tinggi.

Terkadang, mereka bukanlah pemalas, namun mereka orang-orang yang menyerah pada takdir. Mereka bukan tidak mau bekerja, namun mereka adalah orang-orang yang cepat merasa puas akan apa yang mereka dapat.

Mengubah pola pikir adalah langkah awal penting dalam melawan kemiskinan struktural. Ketika masyarakat mulai percaya bahwa perubahan itu mungkin dilakukan, mereka akan lebih terbuka pada pendidikan, keterampilan, dan usaha mandiri. Karena itu, pemberantasan kemiskinan tidak cukup hanya dengan bantuan materi atau infrastruktur. Perubahan pola pikir menjadi kunci agar intervensi pembangunan terlaksana secara efektif. Dalam konteks SDGs, pendekatan ini termasuk dalam aspek sosial untuk mendorong pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

2. Sulitnya Akses ke Pendidikan yang Berkualitas

Pendidikan seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan. Tapi kenyataannya, akses pendidikan belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Di daerah terpencil, masih banyak anak harus berjalan kaki jauh atau menyeberangi sungai hanya untuk pergi ke sekolah.

Sekolah ada, tapi minim fasilitas. Banyak guru honorer yang mengajar di luar bidang keahliannya. Belum lagi kondisi bangunan yang rusak dan tidak aman menjadikan proses belajar jadi tidak maksimal. Di sisi lain, banyak keluarga miskin yang tidak mampu membiayai pendidikan anak hingga jenjang lebih tinggi.

Tak sedikit anak akhirnya harus berhenti sekolah karena harus ikut membantu orang tua bekerja demi memenuhi kebutuhan harian. Ada yang ikut bertani, memancing, bahkan bekerja serabutan sejak usia belia. Mereka kehilangan peluang belajar untuk memiliki masa depan yang lebih baik.

Kondisi ini membuat anak-anak dari keluarga miskin lebih rentan untuk tetap miskin saat dewasa. Bukan karena mereka malas, tapi karena sistem belum mendapatkan peluang yang sama untuk tumbuh dan berkembang.

3. Ketimpangan Ekonomi dan Kesempatan Kerja yang Tidak Merata

Di kota besar, peluang kerja lebih banyak dan beragam, mulai dari industri hingga sektor jasa yang terus tumbuh. Sementara di desa dan wilayah 3T, lapangan kerja terbatas dan seringkali hanya mengandalkan sektor informal seperti tani dan nelayan.

Upah yang diterima juga jauh berbeda. Pekerja kasar di kota bisa mendapat upah harian yang lebih layak dibanding buruh tani di desa. Kesempatan untuk naik kelas ekonomi pun tidak sama. Warga di kota punya lebih banyak akses pelatihan, teknologi, dan pasar. Sebaliknya, masyarakat di daerah terpencil sulit berkembang karena kurangnya jaringan, infrastruktur, dan akses ke informasi.

Ketimpangan ini membuat banyak orang muda harus merantau, meninggalkan keluarga, dan bekerja di kota dengan kondisi minim perlindungan. Sebagian bahkan harus puas dengan pekerjaan tak layak, tanpa jaminan kesehatan atau keamanan kerja.

Akhirnya, ketimpangan ini terus melebarkan jurang antara yang punya banyak akses dan yang tidak punya sama sekali. Tanpa pemerataan kesempatan kerja dan distribusi ekonomi yang adil, kemiskinan akan terus berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Contoh Aksi Nyata SDGs Mengatasi Kemiskinan Struktural

1. Program SDGs Desa dan Perencanaan Berbasis Data

Salah satu langkah konkret dalam mengatasi kemiskinan struktural adalah dengan mengumpulkan data desa yang akurat dan berbasis SDGs Desa. Data ini memuat kondisi riil masyarakat, seperti tingkat pendidikan, akses air bersih, status pekerjaan, dan penghasilan rumah tangga. Dengan data yang lengkap, pemerintah desa dapat menyusun program pembangunan yang lebih tepat sasaran. 

Misalnya, bila ditemukan bahwa banyak keluarga tidak memiliki akses air bersih, maka prioritas pembangunan bisa difokuskan ke penyediaan sanitasi. Pendekatan berbasis data ini membuat kebijakan menjadi lebih adil, merata, dan benar-benar menyentuh akar masalah kemiskinan. Inilah wujud nyata komitmen SDGs untuk pembangunan dari desa, bukan hanya dari pusat ke bawah.

2. Program Indonesia Pintar dan Zonasi Pendidikan

Program ini menyasar anak-anak dari keluarga kurang mampu agar tetap bisa melanjutkan pendidikan tanpa terkendala biaya. Dengan bantuan berupa dana pendidikan langsung melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP), anak-anak dari berbagai wilayah, termasuk desa dan daerah 3T, mendapatkan akses belajar yang lebih setara. 

PIP tidak hanya membantu meringankan beban ekonomi keluarga, tapi juga mencegah anak putus sekolah karena harus bekerja membantu orang tua. Langkah ini menjadi bagian penting dalam memutus mata rantai kemiskinan antargenerasi, sekaligus memperkuat peran pendidikan sebagai jalur utama keluar dari kemiskinan struktural.

 3. Pendampingan UMKM dan Pemberdayaan Masyarakat Desa

Salah satu aksi nyata untuk mendukung SDGs dalam mengatasi kemiskinan struktural adalah pemberdayaan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Upaya ini dilakukan melalui pelatihan, pendampingan usaha, hingga peningkatan akses terhadap permodalan dan pasar. 

Dengan mendorong produktivitas ekonomi masyarakat kecil, program ini membantu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi ketimpangan pendapatan. Pemberdayaan UMKM juga memungkinkan kelompok rentan—terutama di pedesaan—untuk lebih mandiri secara ekonomi dan keluar dari siklus kemiskinan yang menahun.

Tantangan yang Masih Harus Diatasi

Meskipun program SDGs telah membawa banyak harapan, mengentaskan kemiskinan struktural bukan perkara mudah. Salah satu tantangan utama adalah ketimpangan akses terhadap sumber daya, terutama di wilayah tertinggal. Banyak desa masih kekurangan infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan jaringan internet yang menjadi penunjang utama program pemberdayaan ekonomi. 

Selain itu, rendahnya literasi keuangan dan keterampilan kerja membuat sebagian masyarakat kesulitan memanfaatkan peluang yang ada. Tantangan lainnya adalah koordinasi antar lembaga dan pemerintah yang belum selalu selaras, sehingga pelaksanaan program kerap berjalan tidak merata. Tanpa upaya bersama yang konsisten dan berbasis data, tujuan besar SDGs untuk menghapus kemiskinan secara menyeluruh bisa jadi sulit tercapai.

Kemiskinan struktural bukan sekadar soal kekurangan uang, tapi soal kesempatan yang tidak merata. Dengan SDGs, dunia berkomitmen memperbaiki sistem agar setiap orang punya kesempatan yang adil.

Di Indonesia, program-program SDGs sudah mulai menunjukkan hasil, meski tantangannya masih banyak. Kuncinya adalah aksi nyata, data yang akurat, dan pelibatan semua warga. Karena semua warga, di mana pun tinggalnya, punya hak yang sama untuk hidup layak.

Baca juga: Mengapa Pembangunan Infrastruktur di Indonesia Masih Belum Merata?

Referensi :

  • Pentingnya Data Desa Berbasis SDGs Desa Dalam Penentuan Arah Pembangunan Desa
  • Kenapa Sangat Sulit Memberantas Kemiskinan? – YouTube
  • Bantuan PIP 2025: Program Indonesia Pintar untuk Pendidikan yang Merata
  • Wujudkan SDGs melalui Kolaborasi Pemberdayaan UMKM dan Pelestarian Lingkungan