2018 menjadi tahun terjadinya dua peristiwa yang berkaitan dengan kelaparan di Indonesia. Di awal tahun 2018, terdapat Kejadian Luar Biasa (KLB) Gizi Buruk di Asmat, Papua. Kemudian di bulan Juli terjadi pula bencana kelaparan di daerah Maluku, tepatnya Pulau Seram. Sebuah suku bernama Mausu Ane di Maluku Tengah menderita kelaparan hingga tiga orang warganya kehilangan nyawa.
Bencana kelaparan ini terjadi akibat lahan perkebunan yang menjadi sumber makanan sehari-hari mereka diserang oleh hama tikus dan babi hutan. Akibatnya, warga mengalami busung lapar dan gangguan kesehatan. Tiga orang yang terdiri atas 1 orang lansia dan 2 orang balita meninggal dunia dalam bencana tersebut.
Melalui artikel ini, kami akan mengajak Sahabat mengetahui lebih jauh mengenai bencana kelaparan tersebut sekaligus mengenal kehidupan suku Mausu Ane. Simak ya, Sahabat.
1.Bencana Kelaparan
Sejak awal Juli 2018, masyarakat Mausu Ane di Maluku Tengah sudah mengalami krisis pangan. Sebanyak 170 warga komunitas adat yang tinggal di daerah terpencil tersebut terdampak kelaparan.
Salah seorang warga suku Mausu Ane menyebutkan, kekurangan pangan sebenarnya sudah mulai terjadi sejak dua bulan sebelumnya. Saat itu, hama babi hutan dan tikus menyerang ladang jagung dan padi mereka. Disinyalir, akibat kebakaran yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Seram pada tahun 2015, pohon bambu yang menjadi bahan untuk pagar ikut terbakar. Oleh karena itu, mereka tidak bisa membuat pagar untuk melindungi ladang dari serbuan hama.
Laporan mengenai kelaparan yang menimpa suku terpencil di Maluku tersebut baru diterima oleh pemerintah setempat dua minggu setelah laporan dibuat. Sementara bantuan makanan baru diterima oleh warga pada tanggal 24 Juli 2018.
Selama menunggu bantuan makanan, warga disebut berusaha bertahan dengan mengonsumsi dedaunan yang ada. Mereka memakan daun, rotan, dan pohon nibong.
Baca juga: Faktor Penyebab Banyaknya Kasus Gizi Buruk di Papua
2.Sulitnya Akses dan Negosiasi
Suku Mausu Ane tinggal terpencar di tiga lokasi pegunungan Morkelle, yaitu bantaran sungai Kobi, sungai Tilupa, dan sungai Lailaha. Untuk mencapai lokasi tersebut, butuh perjalanan lebih dari sehari dari ibukota Kabupaten Maluku Tengah, Kota Masohi dengan kendaraan. Tidak sampai di situ saja, perjalanan kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki selama 18 hingga 20 jam agar bisa sampai ke sana. Hal ini dikarenakan tidak adanya transportasi yang tersedia.
Suku ini disebut-sebut masih menjalankan pola hidup nomaden. Akan tetapi, akademisi IAIN Ambon, Abdul Manaf Tubaka, menyebutkan pemahaman tersebut keliru. Dahulu suku Mausu Ane memang nomaden, hidup berpindah-pindah. Kini, mereka menetap meski masih sepenuhnya mengandalkan alam untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Selain akses transportasi yang belum tersedia, mendatangi suku ini pun tidak mudah karena mereka cenderung menutup diri dari dunia luar. Seorang pendeta di Maneo, Maluku Tengah, menyebutkan suku Mausu Ane tidak mau berbaur dengan masyarakat lain. Mereka tidak ingin menjumpai orang baru atau aparat keamanan.
Suku Mausu Ane hidup menyendiri di pedalaman Maluku Tengah. Mereka tidak bisa dikumpulkan dengan mudah, harus melalui proses negosiasi yang cukup sulit terlebih dahulu.
Ketika bencana kelaparan ini dilaporkan, Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Tengah sempat mengalami kesulitan menemukan warga Mausu Ane. Petugas dari Dinas Kesehatan harus mencari-cari ke dalam hutan untuk bisa bertemu dengan mereka. Tidak ada titik tertentu yang bisa dijadikan petunjuk keberadaan suku Mausu Ane.
3.Tidak Ada Fasilitas dan Air Bersih
Di tengah kehidupan yang sudah semakin modern di beberapa daerah Indonesia, suku Mausu Ane masih berpegang teguh pada adat istiadat. Mereka tetap hidup berdampingan dengan alam. Infrastrukur mereka pun dapat dikatakan masih sangat minim. Hal ini dikarekanakan pembangunan infrastruktur hanya dilakukan di wilayah depan, tidak mencapai area pegunungan tempat tinggal Mausu Ane.
Tempat suku Mausu Ane menetap di pedalaman Maluku tidak memiliki fasilitas kesehatan seperti puskesmas pembantu. Pengobatan hanya dilakukan oleh Dinas Kesehatan setiap tiga dan enam bulan sekali ke daerah pegunungan tersebut. Jika ada warganya yang sakit, sulit bagi mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Fasilitas sosial lain seperti sekolah pun tidak dapat ditemukan. Pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Himpunan Maluku Untuk Kemanusiaan (Humanum), Marlien Elvira Marantika mengatakan, hanya ada satu Sekolah Dasar yang dikelola oleh sebuah yayasan. Itu pun kondisinya di bawah standar, tidak layak digunakan.
Pembinaan warga suku Mausu Ane hanya dilakukan oleh para pegiat Humanum. Mereka mengadakan semacam pendampingan terhadap masyarakat adat tersebut setidaknya sebulan sekali. Biasanya pendampingan dilaksanakan sekitar satu minggu setiap bulannya.
Selain ketiadaan fasilitas sosial dan kesehatan, suku ini juga tidak memiliki sumber air bersih yang bisa digunakan sehari-hari. Pernah ada instalasi air bersih yang dibangun, akan tetapi instalasi tersebut rusak ketika kebakaran terjadi pada tahun 2015. Akibatnya, mereka harus mengandalkan air dari sungai untuk memenuhi kebutuhan.
Mengerikan, ya, Sahabat bagaimana kelaparan menerjang hingga merenggut nyawa seseorang. Tak terbayang perjuangan mereka tetap bertahan hidup di tengah kesulitan mencari bahan makanan.
Namun, kenyataannya memang demikian. Masih banyak anak-anak di wilayah Indonesia Timur yang tidak dapat memenuhi kebutuhan asupan makanan setiap hari. Kunjungi mereka di sini dan bantu mereka terbebas dari kelaparan dan kurang gizi.
Baca juga : Daftar Wilayah yang Termasuk Daerah 3T di Indonesia
Referensi:
https://news.detik.com/berita/d-4130071/kelaparan-3-warga-suku-terpencil-di-maluku-meninggal-dunia
https://www.mongabay.co.id/2018/07/24/kelaparan-di-komunitas-mausu-ane-di-maluku-tiga-warga-tewas/
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44939889