Kesehatan

Gizi Seimbang: Hak Anak Pedalaman yang Masih Sulit Dijangkau

Di pedalaman Indonesia, sekitar 2,5 juta keluarga tinggal di wilayah 3T—daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Dari jumlah itu, diperkirakan ada lebih dari 4 juta anak yang tumbuh dengan segala keterbatasan.

Setiap harinya, anak-anak di daerah ini mengonsumsi hasil tani, ternak, atau tangkapan ikan. Makanan yang mereka makan mungkin terlihat baik, tapi belum tentu memenuhi prinsip gizi seimbang. Hal tersebut karena banyak wilayah masih memiliki keterbatasan akses untuk menyediakan pangan bernutrisi.

Bukan karena orang tua tidak ingin mencukupi gizi anak. Namun, untuk pergi ke kota saja mereka harus menembus hutan yang lebat dan bermedan berat. Sebagian warga bahkan harus menyusuri sungai dengan arus deras hanya untuk mencapai pasar terdekat. Akses terhadap pangan sehat menjadi tantangan yang nyata di wilayah pedalaman.

Padahal, harapan untuk memenuhi gizi seimbang selalu ada. Gizi seimbang adalah hak semua anak, di kota maupun di pelosok negeri. Sayangnya, distribusi pangan bergizi hingga kini masih belum merata, dan daerah 3T masih menjadi wilayah yang paling tertinggal dalam pemenuhan kebutuhan ini.

Kementerian Pertanian mencatat, 88 kabupaten/kota (sekitar 17,1%) mengalami kerentanan rawan pangan. Sebanyak 88 kabupaten/kota itu tersebar di seluruh Indonesia, namun sebagian besar ada di Provinsi Papua. 

Apa itu Gizi Seimbang dan Mengapa Penting Bagi Anak?

Gizi seimbang adalah komposisi makanan harian yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral dalam jumlah cukup dan proporsional. Anak-anak membutuhkan lebih dari sekedar makanan yang mengenyangkan untuk membentuk tubuh dan pikiran yang optimal. Mereka membutuhkan karbohidrat sebagai bahan bakar dan protein sebagai ‘bahan bangunan’ yang esensial.

Tanpa karbohidrat, tubuh anak akan kekurangan energi yang diperlukan untuk beraktivitas. Otot dan jaringan tidak berkembang optimal jika tidak mengonsumsi protein. Selain itu, lemak juga penting untuk pertumbuhan otak, sedangkan vitamin dan mineral berperan dalam fungsi tubuh yang optimal. Setiap nutrisi ini memiliki peran unik dan saling melengkapi yang membentuk sinergi untuk memastikan anak tumbuh cerdas, aktif, dan memiliki daya tahan tubuh yang prima.

Gizi yang cukup dalam masa pertumbuhan anak berperan penting sebagai pondasi utama kesehatan fisik dan mental. Pemenuhan kebutuhan nutrisi secara tepat di usia dini akan sangat menentukan kualitas anak di masa depan, terutama di 1.000 hari pertama. Kementerian Kesehatan menyebut hal tersebut dengan window of opportunities atau periode emas. Pada saat itu pertumbuhan anak berkembang dengan sangat pesat.

Jenis makanan yang beragam akan memberikan energi yang cukup, memperkuat sistem imun, serta mendukung perkembangan otak dan tubuh anak secara optimal.

Tantangan Penuhi Gizi Anak di Pedalaman

Meskipun begitu, misi memenuhi gizi seimbang pada anak menjadi tantangan tersendiri di daerah pedalaman. Beberapa hal yang menjadi kendala yaitu:

1. Sarana Terbatas ke Makanan Bergizi

Di daerah pedalaman, ketersediaan pasokan makanan segar dan bergizi di pasar lokal sangat minim. Hal ini disebabkan oleh lokasi yang terpencil, minimnya infrastruktur, dan kondisi lingkungan yang buruk. Pasokan makanan di pasar lokal itu jenisnya sangat terbatas dan harganya melambung tinggi. Kondisi tersebut cukup menyulitkan masyarakat pedalaman yang pendapatannya rendah. Mereka terpaksa memilih makanan yang harganya murah, tapi kualitas gizinya rendah.

Misalnya di pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara Timur atau Maluku, orang tua harus naik perahu berjam-jam, hanya untuk membeli ikan atau beras. Kalau hujan besar atau laut sedang pasang, perahu bisa batal berangkat.

Akhirnya, banyak keluarga hanya makan nasi, garam, atau singkong rebus setiap hari.  Inilah sebabnya anak-anak di sana sering kekurangan zat penting seperti protein, zat besi, dan vitamin. Padahal, itu semua dibutuhkan agar mereka bisa tumbuh tinggi, sehat, dan pintar seperti anak-anak di kota.

Untuk mengatasi sulitnya akses, Sahabat Pedalaman bekerja sama dengan relawan lokal untuk mendistribusikan paket makanan bergizi untuk anak Indonesia Timur.  Seringkali, wilayah yang menjadi target penyaluran terletak amat terpencil sehingga harus menempuh jalan yang sulit dan berisiko. 

2. Kurangnya Edukasi Gizi di Masyarakat

Meskipun ada potensi sumber pangan lokal, masyarakat seringkali tidak tahu bagaimana cara mengolah bahan makanan menjadi menu bergizi yang bervariasi. Bahkan mereka juga tidak memahami pentingnya asupan nutrisi tertentu untuk tumbuh kembang anak.

Masyarakat hanya mengandalkan bahan makanan pokok yang kemudian diolah seadanya demi mengenyangkan perut anak mereka, tanpa memperhatikan kandungan nutrisi. Makanan yang “mengenyangkan” saja, seperti nasi putih atau mie instan, tidak cukup jika tak diimbangi sayur, buah, dan sumber protein. 

3. Transportasi dan Distribusi yang Sulit

Sebelum masuk ke dalam penjelasan, bayangkan jika Sahabat Baik sedang lapar dan harus membeli telur. Tapi, distribusi telur itu harus melalui proses panjang terlebih dahulu:

  1. Melewati jalan tanah yang licin dan berlubang besar
  2. Menyebrangi sungai dengan rakit atau jembatan reyot
  3. Naik perahu kecil sebagai satu-satunya akses yang tersedia
  4. Hujan deras atau gelombang tinggi menjadi faktor pembatalan distribusi

Itulah yang dirasakan saudara-saudara kita di pedalaman. Banyak bahan makanan tidak bisa dikirim secara rutin karena ongkos kirimnya mahal dan harganya bisa menjadi dua kali lipat. Menurut data pemerintah, sekitar 70% wilayah 3T di Indonesia masih kesulitan dalam hal distribusi pangan bergizi. Hal ini disebabkan oleh masalah logistik dan infrastruktur.

Contohnya di Sulawesi Tenggara, terdapat Kecamatan Laonti yang terdiri dari 19 desa. Sedangkan enam di antaranya hanya bisa diakses lewat jalur laut—perjalanan dengan perahu bisa memakan waktu 1–2 jam. Di Desa Namu dan Tue-Tue, distribusi pangan bergizi jadi perjalanan panjang, bahkan dapur sekolah hampir mustahil disiapkan tanpa solusi kreatif. Kondisi ini menyebabkan anak-anak kekurangan sayur, buah, dan protein hewani.

Di beberapa desa di Kepulauan Mentawai, akses ke daratan utama sangat terbatas karena harus menempuh perjalanan laut yang mahal dan berisiko. Masyarakat di sana sebagian besar bergantung pada hasil laut dan sagu. Namun, variasi makanan seperti sayuran hijau, buah-buahan, dan jenis protein lain seringkali sulit didapat atau sangat mahal. 

Akibatnya, banyak anak di sana yang mengalami stunting dan masalah gizi lainnya, karena pola makan mereka tidak bervariasi dan tidak memenuhi kebutuhan gizi seimbang. Kondisi ini tentu jauh berbeda dengan masyarakat yang tinggal di kota dimana segala kebutuhan mudah untuk didapatkan.

Sahabat, gizi seimbang bukan hanya tentang makanan, tapi juga tentang masa depan anak. Sayangnya, di banyak wilayah pedalaman, pemenuhan gizi yang layak masih menjadi perjuangan panjang.

Ketika kebutuhan gizi tidak terpenuhi, anak bisa mengalami berbagai dampak serius—mulai dari stunting, berat badan rendah, hingga gangguan konsentrasi dan imunitas yang lemah. Dampak-dampak ini bisa memengaruhi anak sepanjang hidupnya.

Ingin tahu lebih jauh seperti apa dampak gizi buruk terhadap tumbuh kembang anak?
Simak pembahasannya dalam artikel berikutnya, ya, Sahabat.

Baca juga: Daftar Wilayah yang Termasuk Daerah 3T di Indonesia