Wilayah Papua, tepatnya Kabupaten Asmat, sempat mengalami fenomena kesehatan yang cukup mengkhawatirkan. Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk menimpa daerah tersebut pada Desember 2017 sampai Februari 2018. Sebanyak 66 orang meninggal dunia akibat campak dan 10 orang meninggal akibat gizi buruk. Sungguh memprihatinkan bagaimana campak dan gizi buruk sampai merenggut nyawa sebanyak itu ya, Sahabat.
Sebenarnya, gizi buruk bukanlah masalah baru di Papua. Fenomena ini telah hadir dan berakar cukup lama di banyak daerah Indonesia Timur, Papua tak terkecuali. Papua memiliki catatan panjang terkait kejadian gizi buruk. Bahkan, hingga kini, catatan itu masih bertambah meskipun sudah mengalami penurunan yang cukup signifikan. Misalnya saja di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, yang pada 2022 mencatatakan 60 kasus gizi buruk atau 0,7%. Angka ini menurun dari tahun sebelumnya yaitu 2021 yang mencapai 1,6%.
Gizi buruk merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, tidak bisa langsung benar-benar dibasmi hingga kasusnya bisa menyentuh angka 0 atau nihil. Permasalahan ini menyangkut berbagai lapisan mulai dari masyarakat, tenaga kesehatan, hingga pemerintah. Memahami fenomena gizi buruk ini mungkin harus melibatkan berbagai disiplin ilmu, tidak hanya kesehatan.
Pembahasannya mungkin akan menjadi sangat panjang jika dijelaskan secara detail. Namun, untuk artikel ini, kami akan menjelaskan dengan berkaca pada fenomena yang terjadi di Asmat. Kami telah menghimpun dari berbagai sumber yang bisa menggambarkan apa yang membuat gizi buruk terjadi di Papua, bahkan hingga menjadi Kejadian Luar Biasa yang merenggut nyawa.
(Gambar: Pixabay/121019)
drg. Usman Sumantri, M.Sc. yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan RI saat terjadinya KLB campak dan gizi buruk di Papua pernah memaparkan faktor-faktor penyebab fenomena itu bisa terjadi. Menurutnya, faktor terbesar adalah lingkungan yaitu sebesar 40%, disusul oleh faktor perilaku sosial budaya 30%, pelayanan kesehatan 20%, dan genetika yang menyumbang 10%.
Dari sisi lingkungan, diketahui tempat tinggal masyarakat Asmat berada di atas rawa-rawa. Lingkungan seperti ini membuat penyebaran penyakit menjadi lebih mudah kepada warganya, terutama anak-anak yang memang rentan.
Faktor lingkungan lain yang bisa dianggap sebagai penyebab banyaknya kasus gizi buruk adalah tempat tinggal warga yang sulit dicapai. Selain itu, warga juga tidak memiliki akses terhadap air bersih. Banyak warga yang mengandalkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk konsumsi. Konsumsi air yang tidak higienis jelas menjadi salah satu faktor warganya mudah terjangkit berbagai macam penyakit.
Ada pula faktor perilaku sosial budaya yang menjadi penyebab terjadinya gizi buruk di Papua. Dari sisi perilaku, diketahui masih banyak masyarakat Papua, terutama Asmat, yang masih belum memahami dan menerapkan pola hidup sehat. Misalnya, membiarkan anak-anak bermain di tanah becek setelah hujan. Setelah itu, anak-anak itu akan langsung makan tanpa mencuci tangan mereka yang kotor tersebut.
(Ilustrasi menanam. Gambar: Unsplash/Jonathan Kemper)
Perilaku sosial budaya lain yang bisa diamati adalah banyak masyarakat, khususnya di Asmat, yang masih menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah dengan sistem berpindah ladang garapan. Mereka menggantungkan hidup pada ladang-ladang mereka. Pola hidup yang seperti ini tidak sehat dan bisa menyebabkan gizi buruk karena makanan yang mereka ambil dari alam seringkali tidak higienis dan tidak memiliki kandugan gizi sesuai dengan yang dibutuhkan. Mereka tidak memiliki akses pada makanan yang sehat dan bergizi.
Terkait dengan ini, drg. Usman juga pernah mengatakan bahwa masalah gizi buruk yang ada di Asmat tidak bisa dipandang sebagai masalah kesehatan semata. Menurutnya, masalah itu berakar dari cara masyarakat Asmat memenuhi gizi, yang berkaitan dengan ketahanan pangan.
Adapun faktor selanjutnya yang termasuk penyebab terjadinya gizi buruk, umumnya di Papua dan khususnya di Asmat, adalah pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, masalah pelayanan kesehatan yang dihadapi adalah terkait minimnya tenaga kesehatan profesional untuk mengatasi masalah gizi buruk. Menurut catatan drg. Usman, banyak dokter yang seharusnya bekerja di RSUD tidak melakukan praktik.
(Gambar: sehatnegeriku.kemkes.go.id)
Saat KLB campak dan gizi buruk terjadi di Asmat, Kementerian Kesehatan sampai harus mengirimkan 120 Tenaga Nusantara Sehat. Tenaga Nusantara Sehat terdiri atas lima jenis tenaga kesehatan, yaitu dokter, perawat, nutrisionis, kesling atau kesmas, serta farmasi. Para tenaga kesehatan tersebut ditempatkan di 10 Puskesmas selama dua tahun.
Rumit sekali ya, Sahabat, jika mengulik soal gizi buruk di Papua. Begitu banyak faktor yang terlibat. Begitu banyak aspek yang perlu diperbaiki. Masalah gizi buruk di Papua harus segera diperhatikan dan ditangani dengan baik, jangan sampai terulang kembali kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk yang merenggut begitu banyak nyawa.
Demikian lah artikel kami terkait faktor penyebab gizi buruk Papua, dengan berkaca pada kasus KLB yang terjadi di Asmat tahun 2017-2018. Semoga bisa semakin menambah pengetahuan tentang kondisi saudara-saudara kita di pedalaman sana.
Masih banyak artikel menarik lain yang akan kami hadirkan. Jadi, jangan sampai ketinggalan ya, Sahabat!
Baca juga: Apa Perbedaan antara TPQ dan TPA? Berikut Penjelasan Istilahnya
Referensi:
https://indonesiabaik.id/infografis/penyebab-klb-campak-dan-gizi-buruk-di-asmat
https://www.viva.co.id/gaya-hidup/kesehatan-intim/1036558-4-faktor-utama-penyebab-klb-campak-dan-gizi-buruk-asmat?page=all
https://www.klikdokter.com/ibu-anak/kesehatan-balita/faktor-penyebab-klb-campak-dan-gizi-buruk-di-asmat
https://fokuspapua.com/sebab-utama-stunting-di-papua-keterbatasan-bahan-makanan-dan-gizi-buruk/