Bangsal rumah sakit terisi penuh dari ujung ke ujung. Hilir mudik petugas kesehatan berpindah dari satu tempat tidur ke yang lain. Anak-anak berbaring di atas setiap tempat tidur yang disediakan. Tubuh mereka kurus dan lemah, wajah mereka lesu. Di samping mereka para ibu menunggui, ada pula yang duduk di lantai karena tak tersedia kursi yang bisa dipakai.
Secara berkala, dokter memeriksa. Menyusuri rongga dada anak-anak yang tulang rusuknya menonjol. Beberapa di antaranya memiliki perut yang buncit, khas penderita gizi buruk. Memprihatinkan, demikian satu kata yang bisa mendeskripsikan kondisi mereka.
Sejarah Kejadian Luar Biasa (KLB) Gizi Buruk di Papua
Di Papua, penghujung tahun 2017 terasa seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Hampir 800 anak didiagnosa terjangkit wabah campak dan gizi buruk. Angka tersebut mencapai lebih dari setengah jumlah anak yang diperiksa dari 19 distrik yang ada di Kabupaten Asmat, Papua. Pemerintah pun menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Asmat.
Dalam kejadian ini, sebanyak 72 anak-anak meninggal. 66 di antaranya akibat campak, dan 6 akibat gizi buruk. Angka itu hanyalah yang tercatat selama periode KLB hingga tanggal 5 Februari 2018. Namun, selepas itu, angka kematian masih terus bertambah. Masalah gizi buruk tak serta merta selesai dengan dicabutnya status KLB.
Sepanjang tahun 2018, pasien terus berdatangan ke RSUD Agats yang ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan utama selama status KLB diberlakukan. Tak ada angka pasti yang diberikan secara resmi oleh rumah sakit tersebut, namun ada staf yang membocorkan sekitar 34 pasien gizi buruk masuk pada bulan Oktober 2018. Sementara di bulan November, terdapat 9 pasien.
Faktanya, persoalan gizi buruk sudah menjadi musuh yang terus menghantui masyarakat Papua sejak lama. Hanya saja, di akhir tahun 2017 itu angkanya sangat tinggi hingga masuk ke dalam kategori KLB.
Pada tahun 2003, Papua pernah disebut sebagai daerah yang angka kematian bayi dan balitanya tertinggi di dunia oleh United Nations Children’s Fund (UNICEF). Angka itu memang tidak bertahan hingga sekarang, sebab adanya perkembangan dan usaha pemerintah untuk menanggulangi masalah tersebut.
Data termutakhir di UNICEF merupakan data tahun 2015. Di sana disebutkan bahwa di Papua Barat 1 dari setiap 5 bayi lahir dengan kondisi berat badan kurang, sementara 45 persen balitanya menderita stunting. Sedangkan di Papua, 15 persen bayi lahir dengan berat badan kurang dan 4 dari 10 anak balita stunting.
Puluhan tahun pemerintah mengusahakan berbagai cara untuk memberantas gizi buruk di Papua. Akan tetapi, tetap saja tidak mampu memberikan perubahan yang signifikan. Hanya mampu mengikis prevalensinya sedikit demi sedikit.
Baca Juga: Jembatan Kuis, Harapan Baru Untuk Pesisir Sungai Kuis
Permasalahan gizi buruk ini memang kompleks. Tidak ada solusi instan yang bisa diterapkan. Pengiriman persediaan makanan bergizi saja tidak lantas mampu meningkatkan gizi anak-anak di Papua. Obat-obatan yang disediakan saja tak cukup untuk menyelesaikan permasalahan gizi di sana.
Buktinya, makanan serta susu yang dibagikan oleh pemerintah kepada warga Papua dikhususkan untuk anak-anak yang melawan gizi buruk tak seluruhnya tepat sasaran. Para orangtua seringkali turut menikmati. Maka yang terjadi adalah kondisi anak yang tak lekas membaik seperti yang diharapkan.
Belum lagi, kesadaran orangtua yang masih minim akan kondisi kesehatan anak. Mereka enggan membawa anak berobat jika tidak ada imbalan bahan makanan yang didapat.
Salah satu contohnya tertuang dalam tulisan di lokadata.id. Rufina Sucem, ibu dari Ester Sinabiparas. Ester adalah balita yang menderita gizi buruk dan pneumonia. Anak perempuan itu beratnya hanya 5,2 kilogram, padahal semestinya anak seusia Ester memiliki berat di kisaran 11 kilogram.
Bahkan ketika Ester sudah terlihat payah dan lemah, Rufina tidak lantas buru-buru membawa anak bungsunya itu ke rumah sakit. “Ada kopi sama gula kah? Ini rumah tidak ada kopi gula.” Demikian ucapan Rufina kepada dokter yang datang ke rumah memeriksa Ester.
Ucapan demikian merupakan isyarat untuk meminta imbalan. Jika permintaan tersebut tidak dituruti, Ester tidak akan dibawa ke rumah sakit. Barulah ketika dijanjikan kopi dan gula seperti yang diminta, Rufina mau membawa Ester berobat.
Ada pula orangtua yang membawa anaknya pergi mencari bahan makanan di hutan. Masyarakat Papua memang masih ada yang melakukan cara tersebut. Mereka akan bertahan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan di dalam hutan, mendirikan tempat tinggal khusus di sana.
Kebiasaan itu menjadi penyebab beberapa anak terlambat ditangani hingga kondisinya terlanjur parah. Orangtua enggan tinggal di rumah sakit menunggui anaknya yang dirawat atau sekadar buru-buru pulang ketika melihat anaknya sakit.
Kisah-kisah di atas agaknya sudah mampu menggambarkan alasan mengapa masalah gizi buruk seakan tak mau pergi dari tanah Papua. Daftar panjang terbentang di hadapan kita bila ingin mengentaskan masalah gizi buruk di sana. Perlu sinergi antara pemerintah dan berbagai komponen di dalam masyarakat agar kehidupan yang lebih baik bisa terwujud untuk saudara-saudara kita di Papua, khususnya anak-anak. Sahabat juga bisa ikut berpartisipasi dengan cara membantu mereka di sini.
Baca juga: Faktor Penyebab Banyaknya Kasus Gizi Buruk di Papua
Referensi:
https://lokadata.id/artikel/badai-gizi-buruk-di-asmat-belum-berlalu
https://news.detik.com/berita/d-3833961/satgas-terpadu-klb-asmat-temukan-646-kasus-campak-dan-gizi-buruk
https://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/2019-05/West_Papua_ProvincialBrief.pdf
https://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/2019-05/Papua_ProvincialBrief.pdf
https://analisadaily.com/berita/arsip/2018/4/3/531591/sejarah-gizi-buruk-di-papua/