Pendidikan

Bagaimana Tujuan SDGs Mendorong Perubahan Kurikulum Pendidikan di Indonesia?

tujuan sdgs

Pernahkah Sahabat bertanya, apakah pelajaran di sekolah sudah cukup mempersiapkan anak menghadapi dunia yang berubah cepat?

Saat ini, banyak sekali isu rumit yang terjadi secara global seperti krisis iklim, ketimpangan sosial, dan kemiskinan yang terus menghantui. Jika kita tidak memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan sejak dini, kita akan tertinggal dalam perubahan zaman. Oleh karena itu, pendidikan punya peran penting untuk menciptakan generasi yang peduli dan siap beraksi.

Inilah mengapa tujuan SDGs hadir, termasuk dalam dunia pendidikan, mendorong cara kita belajar dan mengajar. Lalu, bagaimana tujuan SDGs memengaruhi arah kurikulum pendidikan di Indonesia? Simak penjelasan berikut.

Mengapa SDGs Relevan untuk Dunia Pendidikan?

SDGs adalah 17 tujuan pembangunan global yang ditetapkan oleh PBB dan berlaku hingga tahun 2030. Tujuan ke-4 dari SDGs berfokus pada pendidikan berkualitas yang inklusif, adil, dan setara untuk semua. Bukan hanya soal akses ke sekolah, tapi juga kualitas kurikulum dan proses belajar yang relevan. Tujuan ini mengajak semua negara menjadikan pendidikan sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan.

Melalui pendidikan, generasi muda disiapkan untuk menjadi warga negara yang cerdas, kritis, dan bertanggung jawab. Mereka diharapkan tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga peka terhadap masalah sosial dan lingkungan.

Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk pola pikir, sikap, dan kemampuan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendidikan, seseorang belajar berperilaku, berkomunikasi, serta berpartisipasi secara aktif di lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya berdampak secara individu, tetapi juga memberi kontribusi nyata bagi masyarakat secara luas.

Mengapa Kurikulum Perlu Berubah?

·       Kurikulum Lama Belum Menjawab Tantangan

Banyak kurikulum lama belum sepenuhnya menjawab tantangan zaman dan kebutuhan siswa saat ini. Anak-anak masih dibebani hafalan, bukan diajak berpikir kritis atau menyelesaikan masalah nyata. Isu global seperti perubahan iklim, kesenjangan ekonomi, dan toleransi masih jarang masuk dalam pelajaran. Padahal, dunia saat ini butuh generasi yang bisa hidup berdampingan dan memahami kompleksitas sosial. Kurikulum yang tidak relevan hanya akan menjauhkan pendidikan dari fungsi utamanya: membentuk manusia seutuhnya.

·         SDGs Mendorong Kurikulum yang Kontekstual dan Bermakna

Tujuan SDGs mendorong pendidikan untuk lebih membumi, dekat dengan isu dan realita sekitar. Kurikulum perlu mengajak siswa memahami masalah nyata seperti sampah, air bersih, hingga kemiskinan di desa. Saat pelajaran terhubung dengan dunia nyata, siswa lebih mudah memahami dan berempati. Nilai-nilai seperti keadilan, keberlanjutan, dan inklusi masuk dalam setiap kegiatan belajar. Ini membuat sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi ruang tumbuhnya kesadaran sosial.

Hambatan dalam Mewujudkan Pendidikan Berkualitas di Indonesia

·         Kesenjangan Pendidikan

Disparitas pendidikan masih menjadi hambatan besar dalam mewujudkan pendidikan berkualitas dan merata di seluruh Indonesia. Perbedaan paling nyata terlihat antara kota besar dan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Pertumbuhan pendidikan selama satu dekade terakhir lebih terfokus di Pulau Jawa dan sebagian Sumatra. Sementara itu, daerah seperti Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua masih tertinggal cukup jauh.

Kesenjangan ini memperlihatkan ketimpangan akses, fasilitas, dan dukungan pendidikan antar wilayah yang cukup serius. Sekolah di kota umumnya memiliki bangunan yang layak, tenaga pendidik cukup, dan akses teknologi yang memadai. Sebaliknya, sekolah di pedesaan atau daerah terpencil masih banyak yang kekurangan guru dan fasilitas belajar yang baik.

Salah satu bukti nyata, dari 1,3 juta ruang kelas, hanya 59% yang masih dalam kondisi baik. Sisanya rusak sedang hingga berat, yang tentu menghambat kegiatan belajar mengajar secara optimal. Kesenjangan pendidikan ini tidak hanya berdampak pada siswa, tapi juga menghambat kemajuan daerah secara keseluruhan.

·         Sistem Pendidikan Nasional Belum Optimal

Sistem pendidikan nasional di Indonesia belum stabil dan sering berubah mengikuti arah kebijakan pemerintah yang silih berganti. Kurikulum yang terus berganti membuat guru kesulitan menyesuaikan metode mengajar secara konsisten. Perubahan cepat ini terutama menyulitkan sekolah di daerah terpencil yang terbatas dalam pelatihan dan sumber daya.

Padahal, agar pendidikan berkualitas, sekolah perlu waktu dan dukungan untuk memahami dan menjalankan kurikulum dengan baik. Ketidakpastian ini menjadi salah satu penghambat utama dalam menciptakan pendidikan yang merata dan berkualitas di Indonesia.

·         Ketidaksetaraan Pembagian Guru Secara Kualitas dan Kuantitas

Ketimpangan distribusi guru menjadi salah satu hambatan utama dalam mewujudkan pendidikan yang adil dan bermutu. Guru berperan penting dalam proses belajar mengajar dan membentuk karakter serta kemampuan siswa. Namun, jumlah guru tidak merata di seluruh daerah, terutama di wilayah pedesaan dan daerah terpencil.

Di beberapa sekolah terpencil, jumlah guru hanya 3 sampai 4 orang untuk mengajar semua kelas. Sementara di kota, jumlah guru lebih banyak dan fasilitas pendidikan lebih memadai untuk mendukung proses pembelajaran.

Selain jumlah, kualitas guru juga belum merata di seluruh Indonesia. Guru di daerah terpencil seringkali belum mendapatkan pelatihan dan fasilitas yang memadai untuk meningkatkan kompetensi. Hal ini membuat mutu pengajaran di desa tidak sebaik di kota yang memiliki akses pelatihan dan teknologi. Padahal, setiap siswa berhak mendapatkan guru yang berkualitas, terlatih, dan mampu menjawab kebutuhan belajar mereka. Ketidaksetaraan ini harus menjadi perhatian agar semua anak mendapat kesempatan pendidikan yang sama.

Contoh Implementasi Peningkatan Pendidikan di Indonesia

Pemerintah Indonesia terus mendorong peningkatan kualitas pendidikan demi mencapai tujuan SDGs di tahun 2030. Berbagai program diluncurkan untuk mengatasi kesenjangan pendidikan, terutama di wilayah 3T yang sulit dijangkau.

Berikut beberapa contoh implementasi nyata peningkatan pendidikan di Indonesia:

1. Program Sekolah Satu Atap (SATAP)

Program SATAP ditujukan untuk anak-anak yang sulit mengakses sekolah dasar dan menengah di wilayah terpencil. Sekolah dasar dan menengah dibangun dalam satu lokasi agar siswa tak perlu bepergian jauh untuk belajar.

Program ini membantu pemerataan pendidikan dan meningkatkan partisipasi belajar di daerah yang sulit dijangkau. UNICEF ikut mendukung program ini di Tanah Papua pada lebih dari 100 sekolah selama tahun 2011–2015.

2. Program Calistung (Membaca, Menulis, dan Berhitung)

Calistung adalah keterampilan dasar yang harus dikuasai anak di awal jenjang pendidikan formal. Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung penting untuk memahami pelajaran dan berkomunikasi dengan baik. Program ini memperkuat fondasi anak sejak dini agar siap menghadapi jenjang pendidikan selanjutnya.

3. Pemerataan Pendidikan Melalui Sistem Zonasi

Sistem zonasi diterapkan dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah negeri. Tujuannya agar siswa mendapat akses sekolah yang dekat dan untuk mengurangi kesenjangan antar sekolah. Zonasi mendorong semua sekolah meningkatkan kualitas, bukan hanya sekolah unggulan di kota besar.

4. Program Indonesia Pintar (PIP)

PIP memberikan bantuan biaya sekolah bagi siswa dari keluarga kurang mampu melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP). Bantuan ini mencegah anak putus sekolah karena faktor ekonomi dan membantu mereka menyelesaikan pendidikan dasar. PIP menyasar siswa dari tingkat SD hingga SMA di seluruh wilayah Indonesia.

5. Peningkatan Profesionalisme dan Kesejahteraan Guru

Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai jenjang yang mereka ajar. Mereka juga perlu mengikuti pelatihan rutin untuk meningkatkan kemampuan mengajar yang sesuai perkembangan zaman.

Kesejahteraan guru turut diperhatikan agar mereka dapat fokus memberikan pembelajaran yang bermutu dan setara. Guru yang profesional berperan penting dalam menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan sesuai kebutuhan siswa.

Tujuan SDGs memberi arah bahwa pendidikan bukan sekadar urusan akademik, tapi juga tanggung jawab sosial. Sekolah diharapkan menjadi tempat yang menumbuhkan empati dan keberanian bertindak untuk perubahan.

Kurikulum yang sesuai SDGs akan menghasilkan generasi yang peduli, solutif, dan punya visi masa depan. Mereka bisa menjadi pelopor di komunitasnya dalam menjaga bumi dan memperjuangkan keadilan sosial. Ini adalah investasi jangka panjang yang dampaknya terasa hingga generasi mendatang.

Agar perubahan ini berhasil, perlu dukungan nyata dari kebijakan pendidikan nasional. Pemerintah harus memfasilitasi pelatihan guru dan menyediakan sumber belajar yang relevan dengan SDGs. Guru juga harus diberi ruang untuk berinovasi dan mengaitkan pelajaran dengan kondisi nyata. Ketika guru paham arah perubahan, maka siswa akan mendapat pembelajaran yang lebih utuh dan kontekstual. Perubahan kurikulum tidak bisa hanya dari atas, tapi perlu kolaborasi semua pihak yang terlibat.  

Melalui perubahan kurikulum, pendidikan bisa menjadi alat untuk mencetak generasi yang cerdas, peduli, dan tangguh. Sudah saatnya pendidikan di Indonesia berjalan seiring dengan tantangan dan harapan dunia yang terus berkembang. Dengan kurikulum yang terinspirasi dari SDGs, anak-anak tidak hanya belajar untuk ujian, tapi juga untuk kehidupan.

Baca juga: Apa Perbedaan antara TPQ dan TPA? Berikut Penjelasan Istilahnya

Referensi :

–          Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia “MENUJU PENDIDIKAN BERKELANJUTAN: IMPLEMENTASI TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (SDGS) DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN BERKUALITAS DI INDONESIA”

–          Mengenal Tujuan 4 SDGs: Pendidikan Berkualitas